Sunday, April 14, 2013

Cerita Pendek Cinta Karena Allah



Cinta Karena Allah, Engkau Kugapai!

By: Nurmala. K.K
Matahari yang menyoroti lapisan atmosfer bumi menembus ke permukaan tanah ini. Cuaca di Bandung memang sejuk. kata orang yang bertandang ke Bandung. Tapi kalau matahari sudah mejeng di pelatarannya, yach sama aja panasnya minta mandi.
Cucuran keringat yang mengalir dari pori-pori kulit wajah membuatku semakin terlihat kumel. Karena aku sudah dua jam berdiri di terminal untuk menunggu bus arah Garut-Lebak Bulus. Sudah dua botol air mineral kuminum, bahkan merk-nya pun kupreteli karena kesal menunggu bus yang tak kunjung datang.
Aku berdiri sendiri di sini, hanya ditemani seseorang yang begitu setia. Dari semenjak aku datang sampai dua jam berjalan dia masih menemaniku. Beuh, top markotop si kempot deh. Setianya melebihi pacar. Kata orang-orang yang punya pacar.
Kulitnya itu loh, kalau kata orang bule yang datang ke Indonesia yang cuma ngincer lautnya supaya kulit mereka berubah. Macem kayak kulitnya Mbak Anggun, penyanyi. Tau kan? Ah kudu tau donk. Nah, yang sekarang di sebelahku itu kulitnya macem kayak Mbak Anggun. Hitam eksotis. Membuatnya semakin gagah dan maco.
Badannya nih, tinggi. Malah cowok yang suka olah raga dan fitness itu kalah. Ga sebanding deh. Dia nih, tinggi banget, sampai-sampai aku harus menengadah ketika ngobrol dengannya.
Rasa penasaran menggodaku untuk menyentuhnya. Tapi aku sadar bahwa Agama Islam melarang umat-Nya untuk tidak bersentuhan tanpa alas dengan yang bukan muhrim. Tapi aku abaikan larangan itu, kuayunkan tanganku ke arah tubuhnya. Kulitku merasakan betapa halus kulitnya. Lalu kuketuk badannya. Terdengarlah suara teng teng teng. Itulah Si Setia, tiang listrik terminal Cileunyi.
Kusandarkan ke tiang badanku yang tidak tahu berapa kali kuubah posisinya. Dari jongkok lalu berdiri, kemudian bangun lagi dan jongkok lagi.
Kulihat orang-orang yang lalu lalang di terminal. Ada yang sibuk menggerakan jari jemarinya di atas keypad handphone, ada juga yang tergopoh-gopoh dengan bawaannya.
Ketika kuubah kepalaku ke arah kanan, ada seorang wanita berdiri di emperan jalan. Dilihat dari wajahnya sepertinya dia masih SMA. Style busananya menjurus K-Pop tapi amburadul, rambutnya lurus hitam. Jika angin menerpa, rambutnya berkibar bak bendera mengawang-awang di tiang. Body-nya juga aduhai. Tapi sayang, kulitnya hitam legam. Beuh, itu cewek gayanya aja pengen mamerin. Ngurus badan aja gak bisa.
Tapi aneh seribu aneh. Selang beberapa lama seorang lelaki yang masih terbilang remeja dan perawakan besar menghampiri wanita itu. Dilihat dari pakaiannya, lelaki itu seperti brandalan. Dengan gaya jalannya yang sok kegantengan, dia membuka kacamata yang bertengger di hidungnya. Sikap wanita terhadap lelaki itu welcome. Aku jadi bingung. Setelah dilihat-lihat ternyata mereka pasangan kekasih. Ampun deh, tingkah mereka itu kayak pasangan Suami-Istri.
Setelah beberapa lama, akhirnya bus pun hadir. Aku yang sedang menyender di tiang shock tapi senang. Kuraih tas yang tergeletak di atas tanah. Aku tergopoh-gopoh berlari ke arah pintu bus. Kukira hanya beberapa orang saja menunggu bus ini. Ternyata banyak penumpang yang tergopoh-gopoh pula menghampiri bus.
Kondektur yang di dalam pintu mempersilahkan dan menyuruh kami cepat-cepat untuk masuk. Tapi bus masih saja jalan. Gaya kami seperti ikan di darat yang ingin masuk ke air yang datarannya lebih tinggi.
“Berhentikan mobilnya Pak! gimana mau masuk?” Pinta seorang penumpang yang berusaha naik ke bus.
Aku yang masih berjuang meraih pegangan pintu bus, malah diserempet oleh seorang ibu-ibu dengan perawakan besar.
Jebbreettt… mukaku tertampar oleh tas yang dibawanya. Tapi tetap kesabaran menenangkanku.
Ketika kemenangan memihak akhirnya aku bisa masuk, eh ternyata bus malah berhenti. “Buseett dach, ini hari nantangin saya.” Geramku dalam hati.
Setelah aku mampu berada di dalam bus, kutermangu karena penumpang yang di depanku masih berdiri. Kukira penumpang yang paling depan mengalami masalah dengan bawaannya yang terlalu berat. Ternyata kursinya sudah terpenuhi semua. Masya Allah, ujian di hari yang sangat menggugah kesabaran.
Kondektur mempersilahkanku duduk di atas busa yang dia siapkan tadi. Akhirnya aku pun duduk di sebelah supir. Penumpang lain yang tidak mendapatkan kursi pun dipersilahkan juga oleh kondektur untuk duduk di sebelahku. Kami sama-sama duduk di lantai bus. Yang membedakan antara aku dengan penumpang yang lain hanya satu. Aku duduk di atas busa dan yang lain duduk di atas kardus. Alhamdulillah, Allah masih memberikan rezeki yang lebih kepadaku. Bahkan ada dua penumpang yang duduk di depan pintu bus. Makin bersyukurnya aku dengan keadaan yang masih terbilang nyaman ini.
“Ya Allah, ternyata aku masih beruntung di sini. Hinanya diriku telah mengingkari semua nikmat-Mu, padahal di sekelilingku ini ada yang lebih susah. Di sini aku bisa melihat Pemandangan Tol Purbaleunyi yang begitu hijau, alhamdulillah.” Gumamku dalam hati.
Pandanganku bukan tertuju pada pemandangan Tol Purbaleunyi yang ada dihadapanku. Tapi mataku tergoda pada pemandangan dua insan hamba Allah yang membuatku terpekik “Subhanallah”. Busana yang dikenakan sang hawalah yang membuatku malu akan busana yang selama ini kukenakan. Aku memang memakai penutup aurat selain muka dan tangan. Busanaku sangat feminin, karena roklah yang menjadi pilihan yang terbaik untuk membalut body-ku. Bahkan style busanaku modis, inilah metode yang kuaplikasikan supaya pandangan orang-orang khususnya kaum yang merendahkan hijab itu tidak memvonis bahwa memakai hijab itu kampungan. Bahkan menjadi trend di masa kini.
Kusaksikan dua insan yang sedaritadi memaksa pandanganku untuk mencuri-curi pandang kepada mereka. Wong mereka di depanku ya terlihatlah. Penumpang yang kebagian duduk di depan pintu itulah mereka berdua. Busana serba hitam yang dikenakan wanita itu ala Timur-Tengah. Cadar yang melapisi wajahnya membuatku penasaran akan pesona wajah yang begitu mahal untuk dipamerkan. Kerudungnya panjang melebihi pinggulnya, jadi seperti mukena. Menjadikanku bertambah kagum. Untuk busana Sang Adam simple. Hanya baju koko, celana bahan dan tak lupa sendal yang menjadikan kesederhanaan hidup mereka.
Pasangan Suami-Istri ini tetap romantis, walau mereka duduk di depan pintu. Mereka saling menyuapi makanan. Kulihat seperti somay atau batagor, jajanan makanan khas Bandung. Pemandangan ini mengingatkanku pada dua insan yang di terminal Cileunyi tadi. Sangat bertolak belakang. Sesekali mereka harus berdiri tatkala ada penumpang yang masuk dan keluar. Tetapi tawa mereka tetap menjadikan hidup mereka indah. Tidak menghiraukan ketidaknyamanan yang mereka dapatkan. Seakan-akan bus ini milik mereka berdua.
Ya Rabb, telah kusaksikan sendiri Indahnya pacaran setelah menikah itu. Semuanya serba Engkau ridhoi. Tak ada ketakutan akan ketidakhalalan karena akad nikah yang merubahnya menjadi halal. Apalagi aku bersyukur alhamdulillah, karena engkau telah memantapkan hatiku untuk istiqomah berhijab. Walau belum benar-benar syar’i. Tapi keinginan itu ada, dan sekarang belum waktunya. Semoga Engkau tempatkan rusukku ini pada rusuk yang benar-benar menjadikanku indah di jalan-Mu. Amin.” Do’aku dalam hati.
Kulirik sekali lagi pemandangan yang mengagumkan. Istrinya menopangkan kepalanya pada pundak suaminya itu. Sang suami mengelus-elus kepalanya, kelembutan suaminya membuat istrinya tertidur. Kemudian lelaki itu membuka kitab keramat yang tak tergerus oleh zaman. Kitab yang menjadi pedoman hidup umat manusia. Terlihat mulutnya komat kamit dan matanya tidak tertuju terus menerus kepada lafadz-lafadz-Nya. Sesekali dia melihat keluar dan memusatkannya lagi pada lafadz-lafadz itu. Ternyata dia menghafal ayat-ayat itu. Subhanallah, pemandangan yang sangat nikmat Allah berikan padaku.
__˜˜˜__
“Pasar Rebo… Pasar Reboo...” Teriak kondektur yang membahana ruangan bus membuatku kaget dan salah tingkah. Perjalanan lama yang meninabobokan membuatku tertidur sampai tujuan.
Aku mencari angkot arah Pasar Minggu. Tujuanku ingin menemui kakak tercintaku, karena ada keperluan yang memaksaku ke Jakarta dan harus pulang ke Bogor. Liburan semester genap memang sudah mulai dari kemarin, dan aku baru bisa pulang ke rumah besok.
Triingg… handphone-ku berbunyi tanda SMS masuk. Kubuka lalu kubaca. Temanku waktu SMP mengajakku untuk datang pada reunian kelas. Aku memang belum pernah bertemu lagi dengan teman-teman SMP-ku semenjak kelulusan. Karena setelah kelulusan itu, aku langsung berangkat ke Pesantren Modern, Ummul Quro Al-Islami, Bogor.
Aku melanjutkan sekolah Madrasah Aliyah setara dengan SMA/SMK di sana, tinggal di sana, belajar di sana, mengaji di sana, makan di sana, bahkan menghadapi berbagai masalah pun di sana. Tempat yang menjadikanku seperti sekarang ini. Berbagai peraturan yang ketat dan tidak diperbolehkan untuk pulang tanpa kepentingan. Kenyamanan seperti membawa handphone atau alat elektronik lainnya pun tidak diperbolehkan untuk dibawa oleh Santriawati.
Dari situlah, aku tumbuh mandiri dan dewasa oleh tempat yang barokah itu. Empat tahun kugali ilmu di sana dengan berbagai cobaan dan masalah. Tidak ada saudara ataupun tetangga yang menemaniku untuk sekolah di sana. hanya aku sendiri ditemani dengan Sang Pemelihara, Robb Seluruh Alam.
Wa’alaikumsalam,
Alamdulillah baik sob. Sendirinya gimana?
Oke, insya Allah datang kok. Aku juga kangen kalian.
Kukirim SMS tanda balasan kepada temanku.
__˜˜˜__
Hari reunian pun tiba dan aku mulai bersiap-siap. Padahal masih pukul 10:22 WIB tapi hawa panasnya sudah seperti hawa panas di Bandung pukul 13 teng. Buset dach, padahal sudah mandi tapi pas keluar dari kamar mandi seperti mandi tidak pakai air. Mungkin sudah terbiasa hidup di area yang dingin eh pindah ke area yang panas, jadi seperti cacing tanah keluar dari persembunyiannya.
Tiba saatnya untuk berangkat silaturahmi. Dengan bermodal gaya yang simple tapi interest, aku memantapkan hati untuk bersilaturahmi dengan teman-teman masa pubertasku itu.
Memang lima tahun tidak bertemu membuatku jadi pangling. Muka teman-temanku yang dulu imut-imut berubah menjadi remaja yang dewasa, termasuk aku. Berbagai pujian datang terlontar dari mulut teman-temanku. Aku hanya tersenyum dan membalas menyemburkan pujian pula.
Tawa dan canda menghiasi momen reunian kami. Bahkan beberapa teman lelakiku mencoba merayuku dengan gayanya masing-masing. Tapi kubalas hanya dengan senyum dan candaan.
Perasaanku tidak enak pada saat aku sedang bercanda dengan temanku, terlihat ada sepasang bola mata yang terus mengamatiku. Pas kulihat ternyata dia mengambil gambarku. Secara langsung kupanggil dia. Dia malah tidak mau mendekatiku. Akhirnya kupaksa dia untuk memberikan kamera itu. Ternyata benar, banyak sekali gambarku yang telah dia ambil. Langsung saja kuhapus semua. Aku yang merasa dirugikan tidak bergejolak api membara. Hanya menasehati dan memperingatinya dengan tegas dan santun. Karena kebenaran itu indah, membelanya tidak memerlukan caci maki, angkara murka, dan nafsu amarah.
__˜˜˜__
Rumahku memang perkampungan, suasananya pun berbeda dengan suasana di kota. Bila weekend tiba, pasti malamnya ramai. Hilir mudik anak remaja untuk menghabiskan liburan mereka dengan kekasihnya. Jalan-jalannya pun bukan ke tempat wisata atau banternya ke mall. Tapi kalau di perkampungan itu malam mingguannya di tukang baso atau di pinggir jalan.
Beda lagi dengan para adam yang jomblo. Aktivitas mereka nongkrong di warung-warung, sambil ngopi dan merokok, bahkan sambil main gaple atau karambol. Bukan Cuma itu, jika ada wanita yang lewat mereka manfaatkan kesempatan itu dengan mengumbar kata-kata gombal dan rayuan. Makanya aku suka malas jika keluar, kecuali jika orangtua menyuruhku.
Aku mendengar handphone-ku yang berbunyi, ternyata ada banyak pesan yang masuk. Ada dua teman SMP-ku yang mengirimkan pesan. Dari pesan mereka, sepertinya mereka menyukaiku. Aku membalas pesan mereka dengan sederhana. Kuhindari kata-kata yang wow yang membuat mereka makin berharap.
Setelah hari demi hari tingkah mereka makin parah. Aku membaca pesan mereka pun illfeel. Kuputuskan untuk tidak merespon pesan mereka lagi. Sikap acuh-tak acuhku membuat mereka tidak pantang menyerah. Berkali-kali mereka mencoba untuk menghubungiku. Aku, sang pemilik handphone dibuatnya kesal. Kujaili mereka dengan metode kebohongan. Ketika mereka menghubungiku, kuubah sebisanya suaraku seperti laki-laki.
“Hallo, assalamu’alaikum. Ini dengan siapa?” Tanyaku dengan berpura-pura menjadi Bapak.
Wa’alaikumssalam, Samsul. Emang ini siapa?” Tanyanya bingung.
“Saya Bapaknya Mala, ada apa?” Balasku masih ‘alaa suara Bapak.
“Oh, maaf pak. Mala nya ada?” Suaranya ketakutan.
“Mala udah berangkat ke Bandung. Nomor ini bapak pinta sebelum dia berangkat. Dia udah ganti nomor.” Timpalku dengan tegas.
“Oh gitu pak, ya sudah terima kasih pak. Maaf ya pak udah mengganggu, assalamu’alaikum.” Suranya mengakhiri.
Wa’alaikumsalam.” Balasku.
Aku langsung tertawa terbahak-bahak setelah mengakhiri telepon tadi. Dia mungkin ketakutan karena dia pikir yang dia hadapi adalah bapakku, sampai-sampai dia tidak berani meminta nomor baruku.
Ada juga cara lain. Ketika temanku yang benar-benar tahu kalau ini nomor asliku. Jika malam hari dia menghubungiku, caranya aku berpura-pura mengantuk. Jika siang hari, aku buru-buru ke tempat ramai dan kubilang, “Duh aku lagi ada kegiatan nih, lagi sibuk.” Ya meskipun dasarnya berbohong tapi ini untuk kebaikan. Bener ga tuh?
__˜˜˜__
Tidak hanya teman lelaki SMP-ku saja. Teman lelaki yang di kampus pun banyak yang menyukaiku. Bukan sombong, Cuma membanggakan diri, just kidding bro. Hehe. Tapi tetap aku menganggapnya hanya angin lalu. Bahkan kusikapi mereka dengan sikap cuek. Tak dapat dipungkiri mereka memvonisku sombong dan jutek, bahkan ada yang menyebutku galak. Ya karena aku suka memarahi mereka ketika gangguan mereka merayap telinga dan aktivitasku. Apa daya tangan tak sampai, sikap ini memang tidak benar. Tapi sekarang aku mulai sedikit membenahi. Menghilangkan kata ‘Galak’ itu dari sikapku untuk menghadapi mereka.
Aku bukan tidak suka dengan lelaki, bukan pula hanya suka dengan wanita. Aku sebenarnya ingin pacaran seperti yang lainnya. Sssttt… ini rahasia kita, aku dan kamu. Jangan disebarin sama mereka yang suka sama aku yach!
Jalan- jalan kesini kemari, memadu kasih, dan mempatri satu nama dalam hati. Tapi syaratnya sebelum pacaran harus lalui dulu akad pernikahan, baru deh aku mau, mau dan mau pacaran.
TAMAT ^_^

3 comments:

Lisa Tjut Ali said...

blognya sudah saya follow ya, senag mampir kemari selain ada cerpen, puisi juga ada makalah

Unknown said...

Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. :)
Maaf jika banyak kekurangan. Kritik dan sarannya saya terima ^_^

Unknown said...

Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. :)
Maaf jika banyak kekurangan. Kritik dan sarannya saya terima ^_^

Post a Comment